Cinta dan Suka : Dua Rasa yang Berbeda, Jangan Sampai Keliru

Oleh : Supriadi, S.Pd.I*

SANDEQ.CO.ID, PolmanCinta, apakah ia memiliki batas? Ataukah ia mengalir bebas, melintasi ruang dan waktu, tidak terikat oleh kepemilikan? Berbeda dengan suka yang selalu memiliki syarat, cinta sejati tidak membutuhkan alasan untuk ada. Ia seperti angin yang menyentuh lembut tanpa bisa digenggam, seperti cahaya yang menerangi tanpa meminta balasan. Imam Ali pernah berkata :

“Jangan jadikan cintamu sebagai tali yang menjerat, dan jangan pula sebagai angin yang berlalu begitu saja.”

Cinta sejati tidak menuntut kepemilikan. Ia memberi tanpa mengharapkan kembali, mencintai tanpa harus memiliki. Sementara itu, suka selalu terkait dengan batasan-batasan duniawi. Kita menyukai sesuatu karena keindahannya, kepemilikannya, atau manfaatnya bagi kita. Namun, ketika keindahan itu memudar atau manfaatnya hilang, suka pun pudar bersama waktu.

Antara Suka dan Cinta : Ruang, Waktu, dan Kepemilikan

Suka selalu memiliki batas. Ia terikat oleh ruang dan waktu, tumbuh karena kehadiran fisik, dan bergantung pada sesuatu yang bisa dimiliki. Kita menyukai seseorang karena wajahnya yang rupawan, suaranya yang merdu, atau karena kehadirannya membawa kebahagiaan. Namun, apa yang terjadi ketika wajah mulai menua, suara mulai melemah, dan jarak memisahkan? Suka perlahan memudar, karena ia bergantung pada materi.

Sebaliknya, cinta sejati tidak mengenal batasan. Ia tetap ada meski raga tiada, tetap tumbuh meski tak bisa bersama. Seorang ibu tetap mencintai anaknya bahkan setelah sang anak pergi jauh. Seorang sahabat tetap mendoakan sahabatnya meski tak pernah bertemu lagi. Bahkan seseorang bisa mencintai tanpa pernah memiliki. Inilah keagungan cinta—ia tidak berkurang meski tak bisa digenggam.

Cinta kepada Tuhan adalah bentuk cinta paling murni. Kita tidak bisa melihat-Nya, tidak bisa menggenggam-Nya, tetapi hati yang mencintai-Nya tetap merasakan kehadiran-Nya dalam setiap hembusan napas. Inilah bukti bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bersifat material, melainkan sesuatu yang melampaui batas dunia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :

“Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 54)

Cinta kepada sesama manusia pun seharusnya demikian. Ia tidak menuntut, tidak memaksa, tidak membelenggu. Jika kita mencintai seseorang hanya karena ingin memilikinya, itu bukan cinta, melainkan suka—karena di dalamnya ada hasrat ingin memiliki secara ragawi atau materi.

Namun, dalam kehidupan rumah tangga, cinta dan suka harus disatukan. Suka adalah kepemilikan secara materi atau raga, yang menjadi dasar bagi hubungan suami istri untuk dapat melanjutkan keturunan. Tanpa suka, tidak mungkin ada hubungan layaknya suami istri, karena tidak ada unsur saling memiliki secara fisik. Namun, untuk melanggengkan rumah tangga, cinta harus hadir di dalamnya, karena cinta adalah ikatan batin yang melampaui sekadar keinginan ragawi. Jika rumah tangga hanya bertumpu pada suka, maka ketika daya tarik fisik memudar, hubungan pun melemah. Sebaliknya, jika rumah tangga hanya bertumpu pada cinta tetapi mengabaikan suka, maka ia akan kehilangan dimensi kedekatan fisik yang juga menjadi bagian dari kodrat manusia.

Sebuah pernikahan yang ideal adalah ketika cinta dan suka berjalan beriringan. Suka menjadi perekat fisik, sementara cinta menjadi pengikat jiwa. Suka menghadirkan kebersamaan, tetapi cinta menjaga keabadian. Sebagaimana Imam Ali berkata :

“Cinta sejati adalah ketika dua hati bertaut bukan karena tubuh, tetapi karena ruh yang saling memahami.”

Kesimpulan : Cinta yang Bebas, Suka yang Terikat

Muda-mudi yang mengira telah jatuh cinta perlu bertanya pada dirinya sendiri: Apakah aku mencintainya karena fisiknya yang indah, atau karena jiwanya yang tulus? Apakah aku akan tetap mencintainya jika suatu hari ia berubah, ataukah rasa ini hanya bertahan selama ia sesuai dengan harapanku?

Suka adalah rantai yang mengikat pada dunia, sementara cinta adalah sayap yang membebaskan. Jangan sampai kita terjebak dalam suka yang sementara, tetapi temukanlah cinta yang sejati—cinta yang tetap ada bahkan ketika segala yang indah telah berubah.

Cinta adalah keabadian, sementara suka hanyalah persinggahan. Maka, sudahkah kita benar-benar mencintai?(*)

Wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah(MPI) Sulbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *