Polman, SANDEQ.CO.ID – Dalam pusaran kekuasaan, batas antara pujian tulus dan sanjungan palsu kerap kabur. Kisah klasik tentang kecerdikan Abu Nawas dan “Peci Wasiat”-nya kembali relevan menjadi renungan bagi para pemimpin dan elit politik di mana pun, tak terkecuali di tengah dinamika sosial politik kita hari ini.
Legenda yang berasal dari masa Keemasan Islam itu menuturkan, Khalifah Harun Al-Rasyid suatu hari dibuat jengkel oleh pujian berlebihan para menterinya terhadap Abu Nawas. Sang Khalifah lantas memberi tantangan nyaris mustahil: menciptakan sebuah peci ajaib yang dapat membuat pemakainya melihat surga. Kegagalan berarti hukuman berat.
Bukannya panik, Abu Nawas justru menghilang beberapa pekan. Ia tidak menyulap peci sakti, melainkan mengambil peci lusuh miliknya yang penuh keringat dan berbau. Dengan penuh keyakinan, ia menghadap kembali ke istana.
Peci Lusuh sebagai Ujian Kejujuran
Di hadapan Khalifah dan segenap pembesar kerajaan, Abu Nawas mengumumkan satu syarat utama “keajaiban” peci tersebut.
“Hanya orang-orang yang jujur dan setia kepada Paduka yang bisa melihat surga di dalamnya. Sebaliknya, para pengkhianat dan penjilat tidak akan melihat apa-apa, bahkan akan mencium bau busuk,” begitu kira-kira syarat yang ia sampaikan.
Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah drama ironi. Bergantian, para menteri dan pejabat tinggi istana mencoba peci itu. Tak satu pun yang berani mengaku tidak melihat surga. Mereka justru bersaing memuji keindahan “surga” yang mereka lihat, khawatir dicap sebagai pengkhianat. Bahkan Khalifah Harun Al-Rasyid sendiri, yang jelas mencium bau tidak sedap, terpaksa berbohong dan mengaku melihat keajaiban tersebut demi menjaga gengsi.
Cermin yang Memalukan dan Pelajaran Berharga
Dengan senyum tipis, Abu Nawas kemudian membongkar kebohongan kolektif itu. Ia mengaku bahwa peci itu hanyalah peci kotor biasa, dan “keajaiban” yang mereka saksikan adalah buah dari ketakutan dan kepura-puraan.
“Peci ini hanya cermin, Paduka. Cermin kejujuran,” tutur Abu Nawas, memberikan nasihatnya yang terkenal. Ia mengingatkan sang Khalifah bahwa seorang pemimpin sering dikelilingi oleh para penjilat (yes-man) yang selalu memuji dan membenarkan segala tindakannya, tanpa berani menyampaikan kebenaran yang pahit.
Khalifah, tersentak oleh kecerdikan dan kejujuran Abu Nawas, akhirnya menyadari kesalahannya. Kisah ini pun berakhir dengan pengambilan hikmah bahwa kejujuran adalah nilai utama, dan seorang pemimpin harus waspada terhadap sanjungan palsu.
Relevansi dengan Kepemimpinan Modern
Kisah metaforis ini bagai cermin bagi kepemimpinan kontemporer. Dalam dunia yang dipenuhi oleh kepentingan dan pencitraan, kejujuran seringkali menjadi korban pertama. Para pemimpin diingatkan untuk :
- Membedakan Pujian dan Sanjungan : Kritik yang jujur lebih berharga daripada pujian yang penuh kepentingan. Seorang pemimpin harus membangun lingkungan yang aman bagi penyampaian pendapat yang benar, bukan yang sekedar menyenangkan.
- Berani Jujur pada Diri Sendiri dan Atasan : Seperti halnya Khalifah yang terpaksa berbohong, seringkali bawahan terjebak dalam budaya “asal bapak senang”. Keberanian untuk menyampaikan kondisi riil, meski pahit, adalah bentuk loyalitas tertinggi.
- Memimpin dengan Kebijaksanaan : Kecerdasan Abu Nawas menunjukkan bahwa menyampaikan kritik atau nasihat tidak harus dengan konfrontasi. Pendekatan yang kreatif, bijak, dan tidak menyudutkan justru lebih efektif untuk menyampaikan pesan kebenaran.
Kisah Peci Ajaib Abu Nawas bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah pelajaran abadi tentang integritas, kelicikan politik, dan seni menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan. Sebuah nasihat yang tetap aktual dari seorang pelawak cerdas untuk para pemimpin di segala zaman.(*)
*Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadis Kominfo) Kabupaten Polewali Mandar
Editor : Redaksi






